Rabu, 23 Juni 2010

Revitalisasi Semangat Nasionalisme Pemuda Indonesia

Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?

(Rendra)[ii]
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Dalam masalah ini, tanah air perlu disinggung karena diskursus nasionalisme awal sesungguhnya secara riil terkait dengan masalah tanah dan menjadi salah satu agenda penting di masa sekarang. Kesadaran bertanah dan mempertahankan tanahnya, dalam perspektif nasionalisme menjadi kesadaran bertanah air. Tanah air yang sungguh-sungguh “milik kami” dan “harus kami pertahankan”. Bangsa tanpa tanah air seperti pohon tanpa akar, tanpa pijakan.
Negara anda sudah merdeka, tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?" tanya Rendra. Itulah yang mungkin menjadi pertanyaan kita sesungguhnya. Bukan pada masih ada tidaknya nasionalisme tapi pada "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan.
Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya. "Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya, nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" [xxv] di era 1980-an ini yang mengaku:
"Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."
Tiga poin pokok yang muncul (tanpa penindasan, keadilan, dan kebenaran) adalah diskursus nasionalisme masa kini yang menghadirkan kembali seruan kritis para pendahulu bangsa. Adalah betul bahwa para pemuda generasi sekarang tidak mengalami masa penjajahan dan revolusi, tapi adalah naif bila dikatakan bahwa mereka tidak dapat berempati atas pengalaman itu dan tercerabut dari nasionalisme. Dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi pengalaman nasionalisme dulu pun hadir di masa sekarang meski berbeda dalam wujud dan strukturnya. Perjuangan atas cita-cita nasionalisme belumlah berhenti, tapi disambut oleh generasi sekarang untuk meneruskannya.
Saat ini, peran pemuda dalam mengisi semangat kemrdekaan kembali dipertanyakan. Daya kritis sebagai penggerak perubahan tidak terwujud. Ironisnya, semakin diperparah oleh kebiasaan mereka yang cenderung menjadi penyambung lidah kekuasaan. Daya kritis hilang, diganti oleh kepentingan pragmatis kekuasaan. Image generasi muda kini lebih bersifat peyoratif ketimbang positif. Mereka cenderung menjadi beban negara, ketimbang sebagai aset yang senantiasa memberikan input konstruktif dan suri tauladan yang baik.
Di era reformasi, seiring dengan hegemoni gagasan demokrasi, justru peran pemuda semakin mengerdil. Sulit mencari sosok-sosok HOS. Cokroaminoto, Soekarno, atau Hatta muda yang baru. Yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Tidak hanya dengan revolusi fisik, namun juga revolusi ide dan gagasan. Meninggalkan kemewahan duniawi untuk menjadi penyambung lidah rakyat dengan berbekal tenaga dan pikiran.
Secara teoretis, gagasan kebangsaan (nasionalisme)—di masa lalu—muncul dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta persamaan nasib bangsa yang bersangkutan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ernst Renan, Otto Bower, dan Peter Tomasoa. Namun, di era modern, konsep itu tidak lagi sepenuhnya bisa diterima. Gagasan nasionalisme awal hanya terpaku pada kehendak untuk merdeka, atau “nasionalisme yang ingin mempunyai negara”. Namun, bila kemerdekaan sudah tercapai, secara perlahan akan lenyaplah nasionalisme tersebut.
Fenomena itulah yang boleh jadi sedang diidap oleh generasi muda. Semangat untuk berkorban, berbakti dan berjuang demi bangsa dan negara cenderung hilang, karena merasa sudah tidak ada lagi musuh yang mampu membangkitkan persatuan dan rasa kebangsaan. Mereka lupa, bahwa setelah revolusi fisik di masa lalu, justru musuh-musuh bangsa semakin banyak dan beragam. Memang, perjuangan tidak lagi sekedar dimaknai sebagai aksi memanggul senjata, namun, bukan berarti aksi lainnya kurang memiliki signifikansi. Di era modern, perjuangan lebih berat. Sebab musuh tidak sekedar berasal dari luar, tidak nyata, bahkan boleh jadi sosoknya adalah diri kita sendiri. Musuh tersebut bisa berbentuk kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan, ketidakrelaan untuk berkorban terhadap sesama atau berempati pada kondisi sosial dan lain sebagainya.
Re-konsepsi Paham Nasionalisme
Oleh karena itu, untuk menempatkan peran pemuda sebagai pengawal kemerdekaan, nasionalisme harus dikonsepsi sebagai sebuah proses yang senantiasa berkembang. Nasionalisme mengikuti dinamika sosial masyarakat. Antara keyakinan, harapan, dan tujuan di satu pihak, dengan lahirnya nasionalisme di lain pihak, terdapat keintiman konseptual yang mendalam. Nasionalisme akan tumbuh jika ditopang oleh harapan, tujuan, dan keyakinan serta cita-cita hidup yang diperjuangkan bersama. Image penjajahan tidak melulu bersifat fisik. Penjajahan juga bermakna mental. Dengan menatap kondisi sosial kita, agaknya tidak sukar menduga bahwa musuh utama dewasa ini adalah kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan, neo-feodalisme, etnosetrisme, fundamentalisme, dan fanatisme.
Membangkitkan kembali nasionalisme di kalangan generasi muda
tidak mungkin tercapai tanpa mengenal siapa generasi muda, dan melihat realitas sosial yang kini terjadi di masyarakat. Menatap sepenuhnya landasan ideal dan cita-cita mereka yang hendak menciptakan dunia yang sejahtera, bebas dari rasa takut, kemiskinan, kesewenangan, dan kebodohan. Bagi generasi muda sekarang, cita-cita kemerdekaan itu digeser oleh harapan tersebut. Cita-cita kemerdekaan generasi muda bukanlah sekedar menghalau penjajah, lalu menggantikan peranan mereka dalam pemerintahan. Bukan sekedar menciptakan rasa bangga pada taraf nasional belaka, tetapi meliputi terciptanya jaminan bagi masa depan pendidikan, peningkatan taraf hidup masyarakat, ketentraman bagi seluruh warga negara Indonesia, kebebasan mengutarakan pemikiran dan pendapat, dan sebagainya.
Nasionalisme generasi muda dapat dibangkitkan dengan menjadikan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai musuh nasional. Sehingga cita-cita realitas sosial yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, penghormatan kebebasan menyatakan pendapat, adanya distribusi pendapatan yang merata, kehidupan yang layak, adanya rasa bebas dari teror dan rasa takut, serta tegaknya hukum dalam segala dimensi kehidupan yang merata dan setara, tidaklah menjadi cita-cita utopis belaka.
Di balik kegelisahan dalam mengamati riuh-rendah peran pemuda, peran ideal meraka pada dasarnya masih bisa dibangkitkan kembali. Apalagi jika kita kembali merenungkan perjuangan mereka di era pergantian rezim kekuasaan, mulai pergantiang Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi. Pemuda menunjukan posisi tawar menawar (bargaining positions) yang jelas dan tegas, yakni menjaga idealismenya bagi kepentingan seluruh bangsa.
Dengan konsep seperti itu, tidak perlu lagi dikhawatirkan adanya sebagian besar pemuda yang belum memahami hakikat nasionalisme serta rasa solidaritas kebangsaan yang mampu menumbuhkan semangat perjuangan untuk membangun bangsa, dalam rangka mengisi cita-cita kemerdekaan. Lakon sejarah pergerakan pemuda menunjukan bahwa pemuda memiliki konsistensi untuk merawat dan menguatkan karakter bangsa (nation and character building). Konsistensi pemuda dalam menjaga idealismenya bagi kebaikan negeri sesungguhnya merupakan pengejawantahan atau manifestasi dari sprit of the nation yang sesungguhnhya.
Pembangunan tipikal dan karakter kebangsaan tidak akan lupa pada peran dan sumbangsih generasi muda. Bahkan warna dan polaritas mereka menunjukkan nilai sejati bangsa itu sendiri. Di saat kondisi bangsa sedang terpuruk, harapan tetap tertumpu pada mereka. Pekik teriakan yang pernah didengungkan oleh Soekarno: “berikan aku 10 pemuda, akan kuangkat gunung Semeru”, merupakan bukti bahwa tanpa dukungan generasi muda, sulit membangkitkan bangsa dari keterpurukan.(AS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar